Salahkah Pompa Bensin Swasta yang Tak Mau Beroperasi di Pelosok?
5 jam lalu
Negara mungkin tampak “efisien” di laporan keuangan, tapi rakyatnya membayar mahal dengan kehilangan kesempatan hidup yang layak.
***
Bayangkan sebuah desa di ujung negeri. Jalannya belum sepenuhnya diaspal, sinyal telepon lemah, dan untuk membeli bensin, warga harus menempuh perjalanan berjam-jam ke kota terdekat. Di sana, tidak ada satu pun pom bensin swasta berdiri. Yang ada hanya kios kecil menjual bensin eceran dalam botol air mineral, dengan harga dua kali lipat dari harga resmi. Pertanyaannya muncul: mengapa pom bensin swasta enggan buka di tempat seperti itu? Apakah mereka salah?
Jawabannya: tidak. Karena sektor swasta memang berdiri di atas prinsip yang berbeda dari pemerintah. Mereka bukan lembaga pelayanan, tetapi entitas bisnis yang digerakkan oleh logika keuntungan.
Profit Sebagai Nafas Kehidupan
Bagi sektor swasta, profit adalah nafas kehidupan. Tanpa laba, bisnis tidak bisa bertahan. Seperti manusia yang berhenti bernapas saat kehilangan oksigen, perusahaan pun mati ketika tidak memperoleh keuntungan. Hidup swasta berasal dari untung kalau tidak untung, ya mati. Kalau mau hidup, maka harus profit. Logika itu sederhana namun keras. Karena itu, pom bensin swasta hanya berdiri di tempat yang menjanjikan penjualan tinggi, logistik mudah, dan biaya operasional efisien. Mereka akan menghindari lokasi terpencil yang sepi kendaraan, jauh dari pelabuhan suplai, atau sulit dijangkau truk tangki.
Keputusan seperti ini bukan tanda kurangnya empati, melainkan bentuk rasionalitas ekonomi: menanam di lahan yang subur agar bisa tumbuh. Profit menjadi kompas yang menuntun setiap langkah bisnis. Dengan laba, perusahaan bisa menggaji karyawan, berinovasi, memperluas usaha, dan membayar pajak. Namun ketika seluruh ruang kehidupan diukur hanya dengan keuntungan, banyak hal yang bernilai sosial kehilangan tempatnya.
Orientasi yang Berbeda: Laba vs Layanan
Inilah garis pemisah paling mendasar antara sektor publik dan sektor swasta. Swasta berorientasi pada efisiensi dan keuntungan, karena hanya dengan itu mereka bisa bertahan. Sementara sektor publik berorientasi pada pelayanan dan pemerataan, karena keberadaannya didasarkan pada mandat sosial, bukan logika pasar. Jika swasta bertanya “Apakah ini menguntungkan?”, publik bertanya “Apakah ini bermanfaat?”
Keduanya penting, tapi tidak bisa dipertukarkan karena ketika pelayanan publik ditarik ke arah laba, maka fungsi sosial negara bisa hilang; dan ketika bisnis dipaksa sepenuhnya melayani tanpa imbal hasil, maka roda ekonomi bisa berhenti berputar.
Bayangkan Jika Negara Berpikir Seperti Swasta
Coba bayangkan jika pemerintah ikut tunduk pada logika profit. Pom bensin milik negara di daerah terpencil akan segera ditutup karena penjualan rendah dan ongkos tinggi. Truk pengangkut BBM akan berhenti datang karena jalannya rusak dan tak lagi “menguntungkan.” Akibatnya, harga bensin melonjak, ongkos transportasi naik, barang kebutuhan pokok mahal, dan nelayan tak sanggup melaut karena harga solar membubung. Ekonomi desa berhenti berputar, sekolah kekurangan pasokan, dan ambulans kehabisan bahan bakar. Negara mungkin tampak “efisien” di laporan keuangan, tapi rakyatnya membayar mahal dengan kehilangan kesempatan hidup yang layak.
Publik Melayani, Swasta Berdagang
Di sinilah batas tegas antara publik dan swasta. Swasta berdagang untuk mencari untung, sementara publik melayani untuk menjaga keseimbangan. Negara hadir bukan untuk menyaingi pasar, melainkan untuk menambal kekosongan yang ditinggalkan pasar. SPBU di pelosok, sekolah negeri di desa terpencil, dan puskesmas di daerah tertinggal bukan sekadar proyek pembangunan, tapi bukti bahwa negara menempatkan keadilan sosial di atas kalkulasi bisnis. Pemerintah tidak boleh mencari untung dari warganya, karena keberadaannya justru untuk memastikan semua orang mendapatkan kesempatan yang sama termasuk mereka yang hidup jauh dari pusat ekonomi.
Ketika Profit Tak Lagi Cukup
Dalam dunia publik, ukuran keberhasilan bukan laba, tetapi manfaat sosial. Subsidi bahan bakar di wilayah terpencil memang “rugi” secara finansial, tetapi “untung” secara kemanusiaan. Ia menghidupkan pasar kecil, membuka akses pendidikan, dan memperlancar mobilitas masyarakat. Negara boleh belajar efisiensi dari dunia bisnis, tetapi tidak boleh kehilangan jiwanya sebagai pelayan rakyat. Sebab, ketika logika profit mengambil alih ruang publik, maka manusia berubah menjadi angka, dan pelayanan berubah menjadi transaksi.
Kolaborasi untuk Keseimbangan
Idealnya, publik dan swasta tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi. Swasta membawa modal dan efisiensi, sementara publik menjaga pemerataan dan keberlanjutan. Melalui kerja sama publik swasta, keduanya bisa bertemu di titik keseimbangan: proyek tetap berjalan, masyarakat tetap terlayani. Dengan begitu, keuntungan dan pelayanan bukan dua hal yang saling bertentangan, tetapi dua sisi yang saling menopang agar pembangunan tidak hanya tumbuh di angka, tetapi juga terasa di kehidupan nyata.
Penutup: Menemukan Nafas Bersama
Jadi, ketika kamu melewati pom bensin di kota dan bertanya mengapa tidak ada di pelosok, ingatlah: Swasta tak salah karena memilih bertahan hidup dengan mencari profit. Tapi di saat pasar tak mampu hadir, negara harus datang karena tanggung jawabnya bukan mencari laba, melainkan menjaga kehidupan. Di sinilah keseimbangan itu hidup: swasta bernapas dari profit, publik bernapas dari pengabdian. Keduanya berbeda tujuan, tapi bersama membentuk satu ekosistem pembangunan yang utuh.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler